Bukan Cinta Semusim
Hanya orang yang bisa mencintai dirinya sendiri, yang bisa memberikan cinta pada kekasihnya. Inilah pelajaran yang dipetiknya dari pengalaman hidupnya.
Marcell Siahaan (33) terlihat riang di siang panas itu. Ia datang dengan kaus santai dan celana gombrong. Sekilas bayangan penyanyi urban pop yang melejit dengan lagu Semusim: penampilan kalem, berjas rapi, rambut ikalnya yang khas, berkelebat. Ia rupanya sudah banyak berubah sekarang. Rambutnya dipotong cepak, tubuhnya lebih kurus. Terkesan macho. Penampilan ini barangkali disesuaikan dengan aktivitas barunya: sebagai penabuh drum di grup musik Kraken dan Super yang dibentuknya, serta olah raga Tai Chi dan Brazilian Jiu Jitsu yang diikuti belakangan.
“Minggu lalu, Dewi launching buku di sini,” Marcell membuka percakapan, sekaligus memberikan alasan mengapa memilih restoran baru di komplek Mega Kuningan sebagai tempat pemotretan. Dewi yang disebut barusan adalah nama mantan istrinya, Dewi Lestari, yang baru saja meluncurkan buku terbarunya Rectoverso. Pernyataan spontan ini seperti membuka kesadaran bahwa perpisahan itu tidak menyisakan pertikaian di antara keduanya. Bahkan sebaliknya.
“Pisahnya aku dengan Dewi adalah satu momen yang tak bisa aku bilang menyakitkan. Itu membahagiakan,”ujar Marcell seolah tahu apa yang dipikirkan lawan bicaranya. “Ternyata aku jadi mengerti diriku sendiri. Sekaligus aku disadarkan bahwa dalam beberapa hal aku tidak bisa memenuhi apa yang Dewi butuhkan dan aku harus siap dan legowo menerima Dewi membutuhkan sosok lain yang bisa memenuhi untuk menciptakan atmosfer yang dibutuhkan oleh dia,”katanya.
Jelas ini bukan soal main-main, apalagi menyangkut perasaan. Tapi toh ternyata Marcell sudah melewati hari-hari perihnya dengan lebih matang. Dengan santai, di restoran yang luas itu, ia menceritakan peristiwa suatu hari. “Saya tahu misalnya ketika istriku cocok dengan orang lain, dan orang lain itu mencintai dia, dan keduanya dekat sekali denganku. Dewi tidak dekat dengan lelaki sembarangan, saya tahu siapa Reza, orang yang sangat baik. Dan yang penting, dia sayang sama Keenan,”ungkap Marcell sambil menyebut nama anaknya.
“Kadang aku sama Dewi itu dianggap gila karena hubungan kami yang unik. Kita bisa mematikan hubungan suami istri dan menjadi sahabat untuk saling menceritakan suatu hal yang bahkan dalam kehidupan suami istri itu tak boleh terjadi.”
Kematangan dalam berpikir hingga tahap ini tentu melalui perjalanan yang cukup panjang. “Aku punya pandangan bahwa hidup ini penderitaan. Hidup itu selalu ada maksud. Aku tak percaya semua ini kebetulan, dan segala sesuatu bisa berubah dalam detik,”ungkapnya sambil mengambil filsafat Buddha, keyakinan yang diikutinya setahun terakhir. Ia pasrah pada perjalanan hidup yang sudah diatur oleh Yang Di Atas, selain mengungkapkan kepercayaannya pada soal kausalitas, bahwa semua ini terjadi karena sebab dan akibat di antara dua pihak tersebut.
Sesuatu yang dianggap sebagai penderitaan itu ternyata memberikan hikmah dalam kehidupannya kelak. Ia memberikan contoh hidup.Tato, katanya, adalah sebuah personifikasi bagaimana kita melukiskan keadaan sakit. Marcell yang memiliki empat tato bergambar tribal hanya sebelah kiri tubuhnya itu tampak langsung bergairah saat menceritakan pengalamannya dirajah untuk pertama kalinya delapan tahun lalu.
“Waktu jarum suntik ditorehkan pertama kalinya.. aduuuh sakit sekali. Aku tak membayangkan rasanya akan sesakit itu. Padahal gambar tato itu sangat besar. Membutuhkan waktu enam jam untuk membuatnya,”ujarnya. Tak mungkin diurungkan. Ketika jarum suntik itu sudah menancap, tak bisa dihentikan. Jarum itu terus menusuk tubuhnya. Ia tak punya pilihan selain menyelesaikannya. “Rasa sakit itu tak bisa dilawan. Bila dilawan akan memunculkan darah putih yang bercampur tinta,” ia menunjukkan hasil tato di perbatasan leher yang warnanya sedikit memudar karena pengalaman itu. “Tak ada pilihan lain. Enjoy the pain. Enjoy the feeling.”
Tapi bukan karena menikmati kesakitan itu bila ia masih menyimpan keinginan untuk menambahkan tato terakhir. Tato itu berupa mantra Buddha Tibetan. “Om mani padme hum. Artinya the jewel in the lotus. Filosofi teratai, walau tumbuh di air kotor, tetaplah tumbuh bunga yang rupawan. Ini juga berarti enam tingkat kehidupan, dari alam dewa sampai setan. Inilah mantra paling kuat, mantra cinta kasih paling tinggi.” Kalimat terakhir yang baru saja diucapkan ini bagai membawanya pada kerinduan pada makna cinta kasih sejati.
Marcell lahir dari buah cinta kedua orang tuanya. Meskipun demikian, konflik yang dihadapi keduanya –yang lantas berlanjut dengan perceraian setelah sekian lama– sedikit banyak memengaruhi perkembangan psikologisnya. Kendati sang ibu yang sangat protektif mengondisikan dirinya sebagai orang yang tak pernah salah, anak tengah dari 3 lelaki bersaudara ini mengaku seringkali merasa sendirian.
Untuk menghilangkan kesendiriannya, ia bergabung dalam sebuah grup musik underground beraliran rock, Puppen. Aktivitas ini menjadi sangat positif, apalagi grup band itu sangat dikenal di wilayah Bandung. Ia menjadi penabuh drum: sebuah aktivitas yang setidaknya bisa membantu menyalurkan hobi dan perasaan resahnya. Inilah awal kedekatannya pada dunia musik. (Selanjutnya, ia selalu bergabung dengan kelompok, apakah acapella, The Experimental Jetset, paduan suara gereja, sebelum akhirnya ia merilis album solo pertamanya, Marcell (2003). )
Beranjak remaja, ia mulai mengenal cinta. “Aku selalu mendambakan matahari. Matahari yang tak terlalu panas. Sifatku sangat bumi dalam sebuah hubungan, karena itu aku ingin pasanganku selalu menjadi matahari,” tuturnya. “Itulah sebab mengapa rasa sakit terberatku adalah ketika aku sendirian. Aku tak bisa sendirian. “Perpisahan (dengan siapapun) selalu membuat aku sedih,”tuturnya. “Aku membutuhkan orang yang bisa menemaniku sampai mati. Ketika aku pacaran, aku selalu menganggap dia tak hanya pacar, tapi juga teman hidup, teman berbagi, dan rela jadi tempat sampah,”katanya.
Perempuan yang diinginkannya itu memang tak mudah didapatkan. Banyak orang menuduhnya playboy, padahal ia adalah orang yang sulit jatuh cinta. “Jadi ketika aku menemukannya, aku pasti stop mencari. Buatku, pacar itu setengah menikah, aku benar-benar serius dan habis-habisan mencintainya,”lanjutnya. Seperti dipahami, resiko dari jenis percintaan ini pun tidak main-main. “Tahun 97-98 aku mau bunuh diri. Aku merasa sendiri. Ketakutan. Keluarga morat-marit dan pacar pergi. Aku seperti tak ada gunanya.”
Tampaknya ia memang harus banyak belajar dari kehidupan. Di sinilah ia mendapati filosofi rasa sakit hingga ia mencapai satu tahapan yang lebih tinggi. Rasa sakit (akibat perpisahan itu) nyatanya harus dihadapi. “Aku justru mendatangi rasa sakit, sakit memang, tapi aku percaya bahwa rasa sakit ini pasti ada akhirnya. Dari situ aku menjadi sadar apa yang kemudian harus aku lakukan.” Lalu lagi-lagi mengambil filosofi Buddha. Tiada yang abadi di dunia ini.
Kini ia sudah mencapai sebuah tahapan baru dalam hidupnya. “Cinta adalah sesuatu yang harus dibagi. Bagi saya, cinta itu kebahagiaan. Ketika kita bahagia, maka kita akan mampu membahagiakan orang lain. Ini seperti filosofi masker gas yang aku dan Dewi percayai,” katanya, lagi-lagi ia menyebut nama mantan istrinya. Salah satu wujud kedewasaaan itu ia sampaikan dalam album single keempatnya (2008) yang bertajuk Hidup. Album ini sesungguhnya ditujukan untuk anak semata wayangnya Keenan Avalokita Kirana agar menghentikan kemunafikan di dunia ini.
Kedewasaan inilah yang agaknya telah menemukannya pada pelabuhan cintanya: Melati Adams.. “Aku tahu ini adalah cinta yang paling tulus yang kutahu suatu saat pasti akan selesai,”kata Marchell sembari menyebutkan hal-hal yang membuatnya jatuh cinta lagi. “Dia nyaman dengan dirinya sendiri. Aku tak suka cewek plastik, karena energinya membuat aku jadi plastik. Dia perempuan yang benar-benar perempuan. Dan yang penting, dia tahu ketika seorang lelaki difungsikan sebagai iman, pengambil keputusan, dia bisa menjadi menjadi support dan tidak berusaha menjadi dominan.”
Setelah berbagai masalah usai, maka ia akan kembali melanjutkan mimpi. “Punya anak perempuan. Kembar. Bekerja di bidang hukum, tapi masih ada hubungannya dengan entertainment law. Soal terakhir ini sebagai apresiasi untuk papaku (ahli hukum). Aku ingin membuat dia tenang,” ungkap Marcell yang sudah berencana akan menempuh ujian pengacara, yang kelak ia berharap bisa memajukan dunia hiburan dengan aturan-aturan hukum yang lebih adil.
Dalam dunia musik ia tengah memersiapkan diri untuk terjun lebih jauh. Kini, ia bukan lagi sekadar penyanyi solo berlagu mellow, tapi kembali ke dunia musik cadas melalui grup bikinannya Kraken dan Super sebagai penabuh drum, arranger, sekaligus produser. Ia ingin meraih prestasi yang lebih tinggi lagi setelah penghargaan AMI-Sharp Awards dalam kategori Lagu rekaman Terbaik untuk Hanya Memuji dan Best New Male Artist. Maka bersiaplah ia kembali meraih cakrawala yang lebih luas dengan kedewasaannya. (Rustika Herlambang)
Pengarah gaya: Dany David. Fotografer: Irvan Arryawan. Busana: Etro. Lokasi: Poste.
Cerita tak tercatat:
Lalu ia mengenangkan sebuah kisah yang membuatnya yakin menata hidup baru dengan Melati. “Dia ajaib. Wajahnya sangat barat, tapi dia sangat Melayu. Dia menyiapkan saya makanan, dia masak sendiri, itu yang bikin saya kagum. Dia beresin baju, rumah, dan rela mencuci baju saya sampai jam 2 pagi. Dia sangat melayani. Lebaran lalu, sambil menggendong anaknya, dia mencium tangan saya dan mengatakan kalau dia mencintai saya. Saya kaget, saya tak pernah mengalami peristiwa seperti ini!,” ucap Marcell yang langsung merasa mantap pada pelabuhan hatinya ini. Katanya, ia serius menjalani, bukan sekadar cinta semusim.
“Saya bahkan sudah mengatakan pada Melati. Jangan suruh pisah aku dengan keluarga Dewi, karena mereka adalah bagian dari keluargaku juga karena Keenan, dan Melati mau mengerti,”kata Marcell, matanya berbinar terang. Momen perpisahan itu, kata Marcell, pada akhirnya malah mendekatkan kembali hubungannya dengan kedua orang tuanya, terutama ibunya. Mungkin kini dia mengalami peristiwa yang sama dengan kedua orang tuanya. “Sekarang aku sudah tahu bagaimana berhubungan dengan Melati. Aku memang dipersiapkan pada suatu babak baru.”
Pilihannya untuk menjadi vegetarian juga merupakan bagian dari kedewasaan ini. Ia merasa secara lingkungan, makan daging tidaklah efektif. “Dari fakta isyu global warming terjadi karena begitu banyak peternakan, bukan pemakaian BBM. Peternakan besar akibar daya konsumtif terhadap daging. Berdasarkan pertimbangan ekologi, aku mau menghentikan peperangan,”kata Marcell yang meyakini bahwa selama manusia masih makan daging maka peperangan tidak akan pernah bisa dilepaskan. “Setiap hewan yang dibunuh mereka akan menghasilkan energi ketakutan, kita makan, ini hanya akan menambah ketakutan.”
Menghadapi rasa sakit, dikatakan Marcell, seperti melakukan penyangkalan terhadap kebahagiaan yang berlebihan, dan juga sebaliknya. “Kita jadi tahu porsi kita masing-masing. Ini bisa menjadi bekal masa depan nanti. Kita tidak boleh menjadi tidak sadar bahwa kebahagiaan itu terus menerus.” Rumus ini pula yang ia terapkan untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya
“Ternyata aku memiliki rasa takut sendiri yang selama ini aku sangkal. Setelah berdamai, bahwa aku memiliki rasa itu, kini aku bisa lebih baik dalam menata hidup.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar